Benang Bercerita Budaya Bernyawa: Pringgasela di Panggung Nasional

 

Lombok Timur — Di lereng kaki Gunung Rinjani yang sunyi namun sarat makna, Desa Pringgasela menjelma menjadi panggung budaya yang hidup. Selama sembilan hari penuh, dari 19 hingga 27 Juli 2025, desa ini menjadi pusat perhatian nasional lewat Festival Alunan Budaya—sebuah perayaan warisan dan kreativitas lokal yang telah memasuki edisi ke-9.

 

Bukan sekadar festival, Alunan Budaya adalah manifes dari cinta, kegelisahan, dan harapan. Ia lahir dari keresahan generasi muda yang melihat budaya mereka nyaris kehilangan ruang. Di tangan para penggerak, keresahan itu diolah menjadi gerakan kolektif yang menyatukan lintas generasi.

 

Dari Kegelisahan Menjadi Gerakan Kolektif

Adalah Nizar Ashari, salah satu penggagas festival, yang menyulut bara semangat tersebut.

 

“Festival ini bukan sekadar agenda tahunan. Ini adalah cara kami menjaga napas warisan, agar tetap hidup di tengah zaman yang serba cepat,” ungkap Nizar.

 

Ia menambahkan bahwa motif-motif tenun yang ditampilkan dalam festival bukan sekadar estetika. “Motif garis lurus yang berulang mencerminkan nilai istiqamah—kesetiaan pada jalan kebaikan. Setiap tenunan adalah doa,” ucapnya penuh filosofi.

 

“Nyiwaq”: Sembilan Wajah, Satu Jiwa

Mengusung tema “Nyiwaq”—yang dalam bahasa lokal berarti “sembilan”—festival tahun ini merangkul sembilan wajah budaya Pringgasela. Ada parade anak-anak, senam budaya, bazar UMKM, tabligh akbar, hingga talkshow bertema pelestarian budaya.

 

Yang menarik, keterlibatan aktif mahasiswa KKN dari berbagai kampus menjadi penguat narasi kolaborasi. Dari panggung hingga dokumentasi, mereka menyatu dalam irama festival.

 

“Kami tidak hanya belajar tentang budaya, tapi juga tentang makna hidup kolektif. Budaya Pringgasela ini menghidupi, bukan sekadar hidup,” ujar Gilang, Koordinator Desa KKN Universitas Mataram.

 

Dialog Reflektif: Budaya, Perempuan, dan Ekonomi Kreatif

Di hari keempat, sesi talkshow bertajuk “Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal Melalui Festival Budaya Desa” menghadirkan para pemikir dan tokoh lokal.

 

Ustadz Hayyi memaparkan asal muasal nama Pringgasela: perpaduan “Pringga” (bambu) dan “Sela” (Selaparang)—tanah leluhur para pejuang.

 

Sementara Hj. Sir’ah, tokoh perempuan penggerak tenun, mengingatkan kembali peran ibu-ibu dalam sejarah tenun. “Mereka menenun bukan hanya untuk rumah, tapi juga untuk para pejuang. Tenun ini menyimpan jejak perlawanan,” katanya.

 

Dalam perspektif ekonomi, Muh. Alfian Fallahian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, menyebut tenun sebagai potensi ekonomi yang belum tergarap optimal.

 

“Tenun bukan sekadar warisan, tapi komoditas unggulan ekonomi kreatif. Jika diberdayakan serius, ini bisa menjadi penopang utama ekonomi masyarakat,” tegasnya.

 

Spektakuler: “Sembilan Kali Lahir (NYA)”

Puncak festival diakhiri dengan pementasan teatrikal bertajuk “Sembilan Kali Lahir (NYA)”, yang membawa penonton menyusuri sembilan babak perjalanan budaya Sasak. Setiap babak menggambarkan spiritualitas, regenerasi, dan kekuatan hidup masyarakat.

 

Digelar pada Ahad malam (27/7/2025), pertunjukan ini mendapat apresiasi tinggi dari berbagai pihak, termasuk perwakilan Kemenparekraf, Bupati Lombok Timur, hingga Staf Ahli Gubernur NTB.

 

“Pringgasela bukan hanya menyajikan pertunjukan. Mereka menunjukkan bagaimana budaya bisa menjadi kekuatan kolektif. Ini adalah standar baru festival desa di Indonesia,” ujar perwakilan Kemenparekraf.

 

Budaya yang Hidup, Bukan yang Dibingkai

Festival Alunan Budaya adalah narasi tentang bagaimana masyarakat bisa menjaga jati dirinya tanpa kehilangan langkah ke depan. Dari benang menjadi tenun, dari tenun menjadi panggung, dari panggung menjadi inspirasi.

 

Pringgasela bukan sekadar desa. Ia adalah cerita yang terus ditenun, diwariskan, dan dihidupkan bersama.

(HSH)

Bagikan: