Partai Buruh Tegaskan Peran Rakyat dalam Redesain Pemilu 2029 melalui Seminar Kebangsaan di Jakarta

Jakarta, 31 Juli 2025 — Bertempat di The Tavia Heritage Hotel Jakarta, Partai Buruh menggelar Seminar Kebangsaan bertema “Redesain Sistem Pemilu Pascaputusan Mahkamah Konstitusi”. Kegiatan ini menjadi wadah dialog terbuka untuk menghimpun gagasan dari berbagai kalangan terkait arah baru sistem pemilu Indonesia pascaputusan penting Mahkamah Konstitusi.

Acara yang berlangsung pada Kamis, 31 Juli ini menghadirkan tokoh-tokoh nasional lintas disiplin, termasuk Jimly Asshiddiqie (Ketua MK pertama 2003–2008), Zulfikar Arse Sadikin (Wakil Ketua Komisi II DPR RI), M. Afifuddin (Ketua KPU RI), serta Wakil Presiden Partai Buruh, Said Salahudin. Seminar juga melibatkan akademisi, LSM, organisasi mahasiswa, hingga partai-partai nonparlemen.

Buka Ruang Demokrasi Substantif

Dalam sambutannya, Said Salahudin menegaskan bahwa desain ulang sistem pemilu bukan sekadar tanggung jawab teknokratis lembaga legislatif, melainkan persoalan hak publik yang menyangkut langsung kedaulatan rakyat. Partai Buruh mengingatkan bahwa partisipasi masyarakat sipil harus dijamin secara substantif dalam proses revisi UU Pemilu, terutama setelah munculnya sejumlah putusan penting Mahkamah Konstitusi.

“Partai politik di luar parlemen, kelompok masyarakat sipil, hingga elemen mahasiswa wajib dilibatkan secara bermakna, bukan sekadar pelengkap formalitas,” ujar Said.

Untuk itu, Partai Buruh menuntut dipenuhinya tiga hak utama dalam proses legislasi UU Pemilu: hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk memperoleh penjelasan atas masukan yang diberikan.

Soroti Ketimpangan dalam Verifikasi Parpol dan Ambang Batas Pilkada

Partai Buruh menyampaikan enam isu strategis yang dianggap mendesak dalam revisi UU Pemilu. Dua di antaranya menjadi sorotan utama dalam diskusi, yakni soal verifikasi partai politik dan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Said Salahudin menyoroti bahwa proses verifikasi selama ini cenderung menjadi alat eliminasi politik terhadap partai-partai kecil, lantaran tidak diatur secara rigid dalam undang-undang. Prosedur verifikasi melalui tahapan Sipol, verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual kerap menimbulkan polemik dan ketidakpastian hukum.

“Verifikasi parpol adalah bentuk pembatasan terhadap hak politik warga negara. Maka, seharusnya ia diatur secara eksplisit dalam UU, bukan sekadar dalam peraturan teknis KPU. Bahkan idealnya ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang netral dan final dalam penafsiran konstitusi,” tegasnya.

Selain itu, Partai Buruh juga menggugat keberlanjutan aturan ambang batas pencalonan dalam pilkada. Menurut mereka, ketentuan tersebut menjadi tidak logis pasca diterapkannya pilkada serentak dengan pemilu legislatif, sebab hasil suara partai belum bisa diketahui saat tahap pencalonan dimulai.

“Jika pencalonan presiden saja tidak lagi mensyaratkan ambang batas, maka tidak masuk akal jika untuk kepala daerah justru masih diberlakukan,” kata Said.

Usulan: Putusan MK sebagai Dasar Utama Legislasi Pemilu

Sebagai penutup, Partai Buruh merekomendasikan agar ketentuan-ketentuan strategis dalam UU Pemilu — terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan politik partai — tidak hanya diserahkan pada DPR dan Presiden. Sebaliknya, Partai Buruh mendorong agar Mahkamah Konstitusi menjadi rujukan utama dalam menyusun aturan agar terhindar dari konflik kepentingan dan menjamin keadilan politik.

“Partai Buruh akan terus menggunakan jalur konstitusional untuk memperjuangkan sistem pemilu yang adil. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah instrumen yang akan kami maksimalkan demi menata demokrasi yang lebih sehat dan berkeadilan,” tutup Said Salahudin.

Melalui forum ini, Partai Buruh tidak hanya menyuarakan aspirasi politik, tetapi juga menegaskan peran rakyat sebagai aktor utama dalam setiap desain demokrasi.

(HSH)

Bagikan: